BAB
I
PENDAHULUAN
Penegakan hukum merupakan pusat
dari seluruh “aktivitas kehidupan
”hukum yang dimulai dari perencanaan hukum,
pembentukan hukum, penegakan hukum dan evaluasi
hukum. Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan
interaksi antara berbagai perilaku manusia yang
mewakili kepentingan – kepentingan yang berbeda
dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama.
Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapat semata-mata dianggap
sebagai proses menerapkan hukum sebagaimana pendapat
kaum legalistik. Namun proses penegakan hukum mempunyai
dimensi yang lebih luas daripada pendapat tersebut,
karena dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensi perilaku manusia.
Dengan pemahaman tersebut maka kita dapat
mengetahui bahwa problem-problem hukum yang
akan selalu menonjol adalah problema “law
in action” bukan pada “law in the books”.
(Rahardjo, Satjipto, 1983)
Penegakan hukum pada prinsipnya harus dapat memberi
manfaat atau berdaya guna (utility) bagi masyarakat, namun di samping itu
masyarakat juga mengharapkan adanya penegakan hukum untuk mencapai suatu
keadilan. Kendatipun demikian tidak dapat kita pungkiri, bahwa apa yang
dianggap berguna (secara sosiologis) belum tentu adil, begitu juga sebaliknya
apa yang dirasakan adil (secara filosopis), belum tentu berguna bagi
masyarakat.
Radbruch mengatakan bahwa hukum itu harus memenuhi
berbagai karya disebut sebagai nilai dasar dari hukum. Nilai dasar hukum
tersebut adalah: keadilan, kegunaan dan kepastian hukum. Meskipun
ketiga-tiganya itu merupakan nilai dasar dari hukum, namun di antara terdapat
suatu Spannungsverhaltnis (ketegangan), oleh karena di antara ketiga
nilai dasar hukum tersebut masing-masing mempunyai tuntutan yang berbeda satu
sama lainnya, sehingga ketiganya mempunyai potensi untuk saling bertentangan,
untuk itulah proses penegakan hukum oleh aparat penegak hukum diharapkan mampu
menjembatani nilai-nilai dasar tersebut. Aparat penegak hukum mencakup
pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak
hukum. Dalam arti sempit, aparatur penegak hukum yang terlibat dalam proses
tegaknya hukum itu, dimulai dari Saksi, Polisi, Penasehat hukum/ Advokat,
Jaksa, Hakim, dan Petugas sipir pemasyarakatan. Namun yang menjadi pembahasan
dalam penulisan ini adalah Peran Hakim, Jaksa dan Advokat dalam Penegakkan
Hukum.
BAB
II
PEMBAHASAN
I. PENEGAKAN HUKUM
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk
tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman
perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu
dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya
penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti
luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap
hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan
sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan
hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam
arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan
sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan
bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan
tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu
diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.
Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari
sudut objeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya
juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu
mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya bunyi aturan
formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi, dalam
arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang
formal dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan perkataan‘law
enforcement’ ke dalam bahasa Indonesia dalam menggunakan perkataan
‘penegakanhukum’ dalam arti luas dan dapat pula digunakan
istilah ‘penegakan peraturan’ dalam arti sempit. Pembedaan antara
formalitas aturan hukum yang tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang
dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa Inggeris sendiri dengan
dikembangkannya istilah ‘the rule of law’ versus ‘the rule of just
law’ atau dalam istilah ‘the rule of law and not of man’ versus
istilah ‘the rule by law’ yang berarti ‘the rule of man by
law’. Dalam istilah ‘the rule of law’ terkandung makna pemerintahan
oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan mencakup pula
nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Karena itu, digunakan
istilah ‘the rule of just law’. Dalam istilah‘the rule of law and not
of man’ dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan
suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah
sebaliknya adalah ‘the rule by law’ yang dimaksudkan sebagai pemerintahan
oleh orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan belaka.
(Asshiddiqie,Jimly, 2006)
Dengan uraian di atas jelaslah kiranya bahwa yang
dimaksud dengan penegakan hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan
untuk menjadikan hukum, baik dalam arti formil yang sempit maupun dalam arti
materiel yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan
hukum, baik oleh para subjek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur
penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh undang-undang untuk
menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.
II. APARATUR
PENEGAK HUKUM
Aparatur penegak hukum mencakup pengertian mengenai
institusi penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum. Dalam arti sempit,
aparatur penegak hukum yang terlibat dalam proses tegaknya hukum itu, dimulai
dari Saksi, Polisi, Penasehat hukum/ Advokat, Jaksa, Hakim, dan Petugas sipir
pemasyarakatan. Setiap aparat dan aparatur terkait mencakup pula pihak-pihak
yang bersangkutan dengan tugas atau perannya yaitu terkait dengan kegiatan
pelaporan atau pengaduan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembuktian,
penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya pemasyarakatan kembali
(resosialisasi) terpidana.
Aktor-aktor utama yang peranannya sangat menonjol dalam
proses penegakan hukum itu adalah hakim, jaksa, pengacara dan polisi. Para
penegak hukum ini dapat dilihat pertama-tama sebagai orang atau unsur manusia
dengan kualitas, kualifikasi, dan kultur kerjanya masing-masing. Dalam
pengertian demikian persoalan penegakan hukum tergantung aktor, pelaku, pejabat
atau aparat penegak hukum itu sendiri. Kedua, penegak hukum dapat pula dilihat
sebagai institusi, badan atau organisasi dengan kualitas birokrasinya
sendiri-sendiri.
Dalam proses bekerjanya aparatur penegak hukum itu,
terdapat tiga elemen penting yang mempengaruhi, yaitu: (i) institusi penegak
hukum beserta berbagai perangkat sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme
kerja kelembagaannya; (ii) budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk
mengenai kesejahteraan aparatnya, dan (iii) perangkat peraturan yang mendukung
baik kinerja kelembagaannya maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan
standar kerja, baik hukum materielnya maupun hukum acaranya. Upaya penegakan
hukum secara sistemik haruslah memperhatikan ketiga aspek itu secara simultan,
sehingga proses penegakan hukum dan keadilan itu sendiri secara internal dapat
diwujudkan secara nyata. (Asshiddiqie,Jimly, 2006)
III . PERAN HAKIM DALAM
PENEGAKKAN HUKUM
A. Profesi
Hakim dan Karakteristiknya
Sebagai sebuah profesi yang berkaitan dengan proses di
pengadilan, definisi hakim tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana atau yang biasa disebut Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP). Pasal 1 angka 8 KUHAP menyebutkan, hakim adalah pejabat
peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili.
Sedangkan mengadili diartikan sebagai serangkaian tindakan hakim untuk
menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan
tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut tata cara yang diatur
dalam undang-undang.(Kamil, Iskandar, 2006)
Hakim memiliki kedudukan dan peranan yang penting demi
tegaknya negara hukum. Oleh karena itu, terdapat beberapa nilai yang dianut dan
wajib dihormati oleh penyandang profesi hakim dalam menjalankan tugasnya. Nilai
di sini diartikan sebagai sifat atau kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi
kehidupan manusia, baik lahir maupun batin. Bagi manusia, nilai dijadikan
landasan, alasan, atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku, baik
disadari maupun tidak. Nilai-nilai itu adalah sebagai berikut :
1.
Profesi hakim adalah profesi yang merdeka guna menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya negara hukum Republik
Indonesia. Di sini terkandung nilai kemerdekaan dan keadilan.
2.
Selanjutnya, nilai keadilan juga tercermin dari kewajiban hakim untuk
menyelenggarakan peradilan secara sederhana, cepat, dan biaya ringan, agar
keadilan tersebut dapat dijangkau semua orang. Dalam mengadili, hakim juga
tidak boleh membeda-bedakan orang dan wajib menghormati asas praduga tak
bersalah. Kewajiban menegakkan keadilan ini tidak hanya dipertanggungjawabkan
secara horizontal kepada sesama manusia, tetapi juga secara vertikal kepada
Tuhan Yang Maha Esa.
3. Hakim
tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan
dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas. Apabila hakim melihat
adanya kekosongan hukum karena tidak ada atau kurang jelasnya hukum yang
mengatur suatu hal, maka ia wajib menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat. Nilai ini dinamakan sebagai nilai keterbukaan.
4. Hakim
wajib menjunjung tinggi kerja sama dan kewibawaan korps. Nilai kerja sama ini
tampak dari persidangan yang berbentuk majelis, dengan sekurang-kurangnya
terdiri dari tiga orang hakim. Sebelum menjatuhkan putusannya, para hakim ini
melakukan musyawarah secara tertutup.
5. Hakim
harus senantiasa mempertanggungjawabkan segala sikap dan tindakannya. Secara
vertikal berarti ia bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan
pertanggungjawaban secara horizontal berarti ditujukan terhadap sesama manusia,
baik kepada lembaga peradilan yang lebih tinggi maupun kepada masyarakat luas.
Berkaitan dengan pertanggungjawaban horizontal, Pasal 25 ayat (1) Undang-
Undang tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa:
“Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.”
6. Hakim
wajib menjunjung tinggi nilai obyektivitas. Hal ini tercermin dalam Pasal 29
ayat (3) yang menyatakan bahwa hakim wajib mengundurkan diri dalam pemeriksaan
suatu perkara apabila ia mempunyai hubungan darah dengan pihak-pihak yang
terlibat dalam proses pemeriksaan perkara tersebut, baik dengan terdakwa,
jaksa, penasihat hukum, panitera, maupun sesama majelis hakim.
Profesi hakim sebagai salah satu bentuk profesi hukum
sering digambarkan sebagai pemberi keadilan. Oleh karena itu, hakim juga
digolongkan sebagai profesi luhur (officium nobile), yaitu profesi yang pada
hakikatnya merupakan pelayanan pada manusia dan masyarakat. Setiap profesi
memiliki etika yang pada prinsipnya terdiri dari kaidah-kaidah pokok sebagai
berikut. (Kamil, Iskandar, 2006)
1.
Profesi harus dipandang sebagai pelayanan, oleh karenanya, sifat “tanpa pamrih”
menjadi ciri khas dalam mengembangkan profesi.
2.
Pelayanan profesional dalam mendahulukan kepentingan pencari keadilan mengacu
pada nilai-nilai luhur.
3. Pengembanan
profesi harus selalu berorientasi pada masyarakat sebagai keseluruhan.
4. Persaingan
dalam pelayanan berlangsung secara sehat sehingga dapat menjamin mutu dan
peningkatan mutu pengemban profesi.
Sebagai suatu profesi di bidang hukum yang secara
fungsional merupakan pelaku utama dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman,
hakim dituntut untuk memiliki suatu keahlian khusus sekaligus memahami secara
mendalam mengenai ruang lingkup tugas dan kewajibannya. Salah satu unsur yang
membedakan profesi hakim dengan profesi lainnya adalah adanya proses rekrutmen
serta pendidikan bersifat khusus yang diterapkan bagi setiap orang yang akan
mengemban profesi ini.
B. Tanggung
Jawab Hakim
► Tanggung Jawab
Profesi Hakim
Pada dasarnya, terdapat setidaknya tiga unsur pokok yang
harus ada dalam pelaksanaan suatu fungsi dalam profesi dan bidang apapun.
Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut. Tugas, yaitu kewajiban dan
kewenangan atau kekuasaan yang harus dilaksanakan untuk kemudian diperinci
lebih lanjut tentang cara melaksanakannya. Aparat, yaitu pelaksana tugas
tersebut yang terdiri atas komponen pelaksana, pendukung, dan penunjang.
Lembaga, yaitu wadah
(struktur dan organisasi) beserta sarana dan prasarana tempat para aparat
melaksanakan tugasnya. Bagi seorang aparat, mendapat suatu tugas berarti
memperoleh sebuah tanggung jawab yang terkait tiga hal, yaitu:
1. mendapat kepercayaan
untuk dapat mengemban tugas;
2. merupakan suatu
kehormatan sebagai pengemban tugas; dan merupakan suatu amanat yang harus
dijaga dan dijalankan.
Tanggung jawab dapat dibedakan atas tiga jenis, yaitu
tanggung jawab
moral, tanggung jawab hukum, dan tanggung jawab teknis profesi. Tanggung jawab moral adalah tanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan kehidupan profesi yang bersangkutan, baik bersifat pribadi maupun bersifat kelembagaan bagi suatu lembaga yang merupakan wadah para aparat bersangkutan. Sementara tanggung jawab hukum diartikan sebagai tanggung jawab yang menjadi beban aparat untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan tidak melanggar rambu-rambu hukum. Sedangkan tanggung jawab teknis profesi merupakan tuntutan bagi aparat untuk melaksanakan tugasnya secara profesional sesuai dengan kriteria teknis yang berlaku dalam bidang profesi yang bersangkutan, baik bersifat umum maupun ketentuan khusus dalam lembaganya. (Mahkamah Agung RI, 2005)
moral, tanggung jawab hukum, dan tanggung jawab teknis profesi. Tanggung jawab moral adalah tanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan kehidupan profesi yang bersangkutan, baik bersifat pribadi maupun bersifat kelembagaan bagi suatu lembaga yang merupakan wadah para aparat bersangkutan. Sementara tanggung jawab hukum diartikan sebagai tanggung jawab yang menjadi beban aparat untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan tidak melanggar rambu-rambu hukum. Sedangkan tanggung jawab teknis profesi merupakan tuntutan bagi aparat untuk melaksanakan tugasnya secara profesional sesuai dengan kriteria teknis yang berlaku dalam bidang profesi yang bersangkutan, baik bersifat umum maupun ketentuan khusus dalam lembaganya. (Mahkamah Agung RI, 2005)
► Tanggung Jawab
Moral Hakim
Secara filosofis, tujuan akhir profesi hakim adalah
ditegakkannya keadilan. Cita hukum keadilan yang terapat dalam das sollen
(kenyataan normatif) harus dapat diwujudkan dalam das sein (kenyataan alamiah)
melalui nilai-nilai yang terdapat dalam etika profesi. Salah satu etika profesi
yang telah lama menjadi pedoman profesi ini sejak masa awal perkembangan hukum
dalam peradaban manusia adalah The Four Commandments for Judges dari Socrates.
Kode etik hakim tersebut terdiri dari empat butir di bawah ini.
1. To hear corteously
(mendengar dengan sopan dan beradab).
2. To answer wisely
(menjawab dengan arif dan bijaksana).
3. To consider soberly
(mempertimbangkan tanpa terpengaruh apapun).
4. To decide
impartially (memutus tidak berat sebelah).
Hakim dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya
didasari oleh Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang tertuang dalam
Keputusan Bersama antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial No
047/KMA/SKB/IV/2009. Di dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim terdapat 10
prinsip dasar: (1) berperilaku adil, (2) berperilaku jujur, (3) berprilaku arif
dan bijaksana, (4) bersikap mandiri, (5) berintegritas tinggi, (6) bertanggung
jawab, (7) menjunjung tinggi harga diri, (8) berdisiplin tinggi, (9)
berperilaku rendah hati, (10) bersikap profesional
Dalam bertingkah laku, sikap dan sifat hakim tercermin
dalam lambang kehakiman dikenal sebagai Panca Dharma Hakim, yaitu:
– Kartika,
melambangkan Ketuhanan Yang Maha Esa;
– Cakra, berarti
seorang hakim dituntut untuk bersikap adil;
– Candra, berarti
hakim harus bersikap bijaksana atau berwibawa;
– Sari, berarti
hakim haruslah berbudi luhur atau tidak tercela; dan
– Tirta, berarti
seorang hakim harus jujur.
Sebagai perwujudan dari sikap dan sifat di atas, maka
sebagai pejabat hukum, hakim harus memiliki etika kepribadian, yakni:
a. percaya dan takwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. menjunjung tinggi
citra, wibawa, dan martabat hakim;
c. berkelakuan baik dan
tidak tercela;
d. menjadi teladan bagi
masyarakat;
e. menjauhkan diri dari
perbuatan asusila dan kelakuan yang dicela oleh masyarakat;
f. tidak melakukan
perbuatan yang merendahkan martabat hakim;
g. bersikap jujur,
adil, penuh rasa tanggung jawab;
h. berkepribadian,
sabar, bijaksana, berilmu;
i. bersemangat ingin
maju (meningkatkan nilai peradilan);
j. dapat dipercaya; dan
k. berpandangan luas.
► Tanggung Jawab
Hukum Hakim
Beberapa peraturan perundang-undangan yang memiliki
kaitan dengan hakim dan peradilan mencantumkan dan mengatur pula hal-hal
seputar tanggung jawab hukum profesi hakim. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman mencantumkan beberapa tanggung jawab profesi yang
harus ditaati oleh hakim, yaitu:
1) bahwa
hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 28 ayat (1));
2) bahwa
dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula
sifat yang baik dan jahat dari terdakwa (Pasal 28 ayat (2); dan
3) bahwa
hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan
keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami isteri
meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang Hakim Anggota, Jaksa,
Advokat, atau Panitera (Pasal 29 ayat (3).
Selain peraturan perundang-undangan yang menguraikan
tanggung jawab profesi hakim sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman secara
umum, terdapat pula ketentuan yang mengatur secara khusus mengenai tanggung
jawab profesi Hakim Agung, yaitu Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Undang-undang ini mengatur
ketentuan-ketentuan yang harus ditaati dan menjadi tanggung jawab Hakim Agung,
di antaranya sebagai berikut.
a. Pasal 10 ayat (1)
menyatakan bahwa Hakim Agung tidak boleh merangkap menjadi:
– pelaksana
putusan Mahkamah Agung;
– wali,
pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara yang akan atau sedang
diperiksa olehnya
– penasehat
hukum; dan
–
pengusaha
b. Pasal 12 ayat (1)
menyatakan bahwa Hakim Anggota Mahkamah Agung dapat diberhentikan tidak dengan
hormat dengan alasan:
– dijatuhi
pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan karena melakukan tindak pidana
yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih
– melakukan
perbuatan tercela;
– terus
menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya;
– melanggar
sumpah atau janji jabatan; dan
– melanggar
larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.
c. Pasal 41 ayat (1)
menyatakan bahwa hakim wajib mengundurkan diri dari suatu
persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai
derajat ketiga, atau hubungan suami atau isteri meskipun telah bercerai dengan
salah seorang Hakim Anggota atau Panitera pada majelis hakim.
d. Pasal 41 ayat (4)
menyatakan jika seorang hakim yang memutus perkara dalam tingkat pertama atau
tingkat banding, kemudian telah menjadi Hakim Agung, maka Hakim Agung tersebut
dilarang memeriksa perkara yang sama.
e. Pasal 42 ayat (1)
menyatakan bahwa seorang hakim tidak diperkenankan mengadili suatu perkara yang
ia sendiri berkepentingan, baik langsung maupun tidak langsung. Di samping
kedua undang-undang di atas, peraturan berbentuk undang- undang lainnya yang
mencantumkan ketentuan mengenai tanggung jawab profesi hakim adalah:
f. Undang-Undang Nomor
3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
g. Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial;
h. Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang
Peradilan Umum;
i. Undang-Undang Nomor
9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara;
j. Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
k. Undang-Undang Nomor
14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak; dan
l. Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
► Tanggung Jawab
Teknis Profesi Hakim
Jenis tanggung jawab yang terakhir adalah tanggung jawab
teknis profesi. Pada jenis tanggung jawab ini, penilaian terhadap sesuai atau
tidaknya tindakan yang dilakukan oleh hakim dengan ketentuan yang berlaku
menjadi hal yang paling diutamakan. Selain itu, penilaian terhadap kinerja dan
profesionalisme hakim dalam menjalankan tugasnya juga menjadi perhatian.
Setiap hakim dituntut mampu mempertanggungjawabkan
tindakannya sebagai profesional di bidang hukum, baik di dalam maupun di luar
kedinasan, secara materi dan formil. Oleh karena itu, adalah suatu hal yang
mutlak bagi para hakim untuk memahami secara mendalam aturan-aturan mengenai
hukum acara di persidangan. Ketidak mampuan hakim dalam mempertanggungjawabkan
tindakannya secara teknis atau dikenal dengan istilah unprofessional
conduct dianggap sebagai pelanggaran yang harus dijatuhi sanksi.
C. Penegakkan
Hukum
Berkaitan dengan tanggung jawab Hakim seperti dipaparkan
di atas, Hakim memiliki peran penting dalam penegakan hukum di Indonesia.
Oleh karenanya sebagai penegak hukum, Hakim merupakan pejabat kunci
keberhasilan penegakan hukum, maksudnya penentu bagi penjatuhan sanksi terhadap
pelanggar hukum dengan tidak membedakan status pelaku. Inilah sebagai kunci
hukum benar-benar ditegakkan dengan tidak pandang bulu. Oleh karenanya dalam
menjatuhkan putusan atas suatu perkara, Hakim harus benar-benar menemukan suatu
kebenaran akan peristiwanya sehingga dapat menentukan sanksi yang dijatuhkan
bersamaan putusan yang dijatuhkan pula. Dengan dijatuhkannya putusan berarti
suatu bentuk keadilan harus terwujud diantara berbagai pihak terutama yang
terlibat suatu perkara yang bersangkutan, dikarenakan setiap putusan Hakim
pasti berkepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Namun tak bisa dipungkiri masih terdapat beberapa
kelemahan dalam pelaksanaan fungsinya. Selain mengalami masalah pada
profesionalisme dan integritas para Hakim serta aparat penegak hukum yang lain,
masalah juga terjadi pada sistem penegakan hukum di Indonesia dikenal sangat
tidak efektif. Jalur yang rumit, disertai syarat-syarat birokratis yang
panjang, menciptakan situasi yang tidak kondusif bagi program penegakan hukum yang
efisien dan efektif. (Mahendra, Yusril Ihza, 2002)
Putusan Hakim mempertaruhkan citra Hakim di mata
masyarakat. Putusan yang tidak menimbulkan rasa keadilan akan memunculkan
cemoohan bagi Hakim, meskipun dengan dalih berdasarkan bukti-bukti yang diajukan
beserta keyakinannya Hakim sudah maksimal memeriksa perkara yang bersangkutan.
Sering Hakim lupa dalam memeriksa suatu perkara, dianggapnya perkara tersebut
adalah perkara-perkara yang sama saja satu dengan yang lain. Dalam hal ini
Hakim sering memeriksa suatu perkara secara individual dengan mengacu pada
perkara-perkara yang sejenis yang telah diputuskan oleh Hakim yang lalu karena
putusannya itu dianggapnya sebagai yuriprudensi. Namun Hakim yang demikian
sebenarnya telah melupakan bahwa situasi sosial telah berubah. Kondisi sosial
masyarakat mengalami perubahan seiring dengan berkembangnya kebutuhan
masyarakat akan pemenuhan hidup sehari-hari. Perubahan sosial berpengaruh pula
pada pola hidup dan sikap tindak setiap anggota masyarakat, dan yang paling utama
kadang hukum tertinggal dari perubahan masyarakat. Oleh karenanya tidaklah
mudah untuk menentukan bahwa suatu perkara yang sejenis yang telah diputus
dianggap sama dengan perkara yang sedang diperiksa.
Hakim sering mengabaikan keadilan yang diharapkan ada
saat menghadapi perkara. Bahkan kadang dengan dalih “benar atau salah” Hakim
melupakan rasa keadilan yang diinginkan oleh pihak-pihak yang terlibat perkara
yang bersangkutan. Apalagi Hakim dihadapkan pada aneka macam hukum (hukum adat)
yang tersebar di banyak suku di negeri ini. Jiwa berani memutus perkara dengan
adil masih kurang mewarnai hati nurani Hakim. Hal ini seringnya terjadi suatu
putusan Hakim diprotes oleh sebagian rakyat yang merasa Hakim kurang adil dalam
memeriksa dan menjatuhkan putusan.
Dalam kaitannya dengan penegakan hukum, keberhasilan
penegakan hukum sangat terkait dengan penerapan serasi antara nilai-nilai yang
berkembang dan diyakini kebenarannya oleh masyarakat dengan kaidah serta dengan
perilaku nyata manusia. (Soerjono Soekanto, 1986: 13). Oleh karenanya agar
hukum berfungsi dengan baik, maka diperlukan keserasian dalam hubungan kelima
faktor di atas (faktor hukumnya, faktor mentalitas penegak hukum, faktor
fasilitas, faktor kesadaran hukum masyarakat dan faktor budaya), dan kelima
faktor tersebut saling berkaitan serta merupakan inti dari sistem penegakan
hukum. Dengan demikian perilaku Hakim dalam menjatuhkan putusan juga haruslah
memperhatikan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat. Dengan beragamnya
adat istiadat suku bangsa yang ada di Indonesia, Hakim harus cermat dalam
memahami setiap kasus yang diperiksanya. Untuk itu putusan yang dijatuhkan
merupakan putusan “kasuistis” yang tidak dapat disamakan dengan kasus-kasus
yang mirip dan sudah pernah terjadi. Apalagi menyangkut kasus pidana,
kecermatan dan wawasan yang luas akan nilai-nilai adat yang berkembang dalam
masyarakat menjadi keharusan bagi seorang Hakim agar citranya tidak tercoreng
di mata masyarakat, lebih-lebih soal kehati-hatian dan non diskriminan serta
tidak melakukan “jual-beli” perkara menjadi harga mati yang harus dilakukan
oleh seorang Hakim.
IV. PERAN JAKSA/
PENUNTUT UMUM DALAM PENEGAKAN HUKUM
A. Kejaksaan dan
Profesi Jaksa Penuntut Umum
Founding fathers republik ini telah mencita-citakan
Indonesia sebagai negara yang berdasarkan hukum (Rechtstaat) bukan kekuasaan
(Machtstaat), konstitusi kita, Undang-Undang Dasar 1945 pun telah menegaskan
bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Sebagai suatu negara hukum, maka
sudah selayaknya juga segala sesuatu yang dijalankan dalam kehidupan bernegara
dan bermasyarakat juga harus berada dalam koridor hukum, artinya dalam
masyarakat mutlak diperlukan hukum untuk mengatur hubungan antara warga
masyarakat dan hubungan antara masyarakat dengan negara.
Dikeluarkannya peraturan-peraturan tersebut menggambarkan
adanya norma-norma hukum yang diciptakan untuk mengatur hak dan kewajiban dari
negara dan masyarakat. Pelaksanaan dari peraturan-peraturan yang mengandung
norma-norma hukum tersebut pada dasarnya merupakan bagian dari penegakan hukum
karena penegakan hukum adalah suatu upaya untuk menjaga agar hukum harus
ditaati. Hukum dapat berperan baik dan benar ditengah masyarakat jika
instrument pelaksanaannya dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan dalam bidang
penegakan hukum. Salah satu diantara kewenangan-kewenangan itu adalah Kejaksaan
RI.
Kejaksaan R.I. adalah lembaga pemerintahan yang
melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain
berdasarkan undang-undang. Sebagai badan yang berwenang dalam penegakan hukum
dan keadilan, Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang dipilih oleh dan
bertanggung jawab kepada Presiden. Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan
Kejaksaan Negeri merupakan kekuasaan negara khususnya di bidang penuntutan,
dimana semuanya merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan
(en een ondelbaar). (Vide Pasal 2 ayat (1) UU Kejaksaan, Vide Pasal 3 UU
Kejaksaan)
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia, Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak
hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum,
perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Dalam melaksanakan kekuasaan negara di
bidang penuntutan harus melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya secara
merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan
lainnya. (Vide Pasal 2 ayat (1) UU Kejaksaan)
Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan berada
pada posisi sentral dengan peran strategis dalam pemantapan ketahanan bangsa.
Karena Kejaksaan berada di poros dan menjadi filter antara proses penyidikan
dan proses pemeriksaan di persidangan serta juga sebagai pelaksana penetapan
dan putusan pengadilan. Dengan begitu Kejaksaan sebagai pengendali proses
perkara (dominus litis), karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan
apakah suatu kasus/perkara dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan
alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana.
Bahwa selain dari melakukan penuntutan, melaksanakan
penetapan Hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap (executive ambtenaar). Kejaksaan juga memiliki tugas dan wewenang dalam
bidang pidana lainnya yakni melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan
pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
undang-undang; melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam
pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. (Vide Pasal 30 ayat (1) UU
Kejaksaan)
Dalam bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan
dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan
untuk dan atas nama negara atau pemerintah, adapun yang dapat dilakukan jaksa
dalam bidang ini antara lain melakukan penegakan hukum; bantuan hukum sebagai
jaksa pengacara negara; melakukan pelayanan hukum kepada masyarakat; memberikan
pertimbangan hukum kepada lembaga pemerintah; dan melakukan tindakan hukum
lain. Sedang dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut
menyelenggarakan kegiatan peningkatan kesadaran hukum masyarakat; pengamanan
kebijakan penegakan hukum; pengawasan peredaran barang cetakan; pengawasan
aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara; pencegahan
penyalahgunaan dan penodaan agama; penelitian dan pengembangan hukum serta
statistik kriminal. Dalam UU Kejaksaan tepatnya pada Pasal 1 butir 1 ditentukan
bahwa:
”Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang
oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain
berdasarkan undang-undang.”
Sedangkan dalam Pasal 1
butir 2 disebutkan :
“Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh
Undang-Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.”
Hal tersebut juga di atur dalam UU Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana yang kerap di sebut dengan KUHAP yakni dalam Pasal 1
butir 6 huruf a dan b Jo. Pasal 13 dengan begitu telah jelas bahwa penuntut
umum sudah pasti adalah seorang jaksa, sedangkan jaksa belum tentu seorang
penuntut umum. Bila melihat uraian di atas, dapat dikatakan bahwa peran jaksa
selaku penuntut umum dalam penegakan hukum tentu berada dalam koridor
tindakan penuntutan.
B. Tugas dan
Wewenang Jaksa Penuntut Umum
Adapun dalam rangka persiapan tindakan penuntutan atau
kerap dikenal dengan tahap Pra Penuntutan, dapat diperinci mengenai tugas dan
wewenang dari Jaksa Penuntut Umum sebagai berikut antara lain :
a.
Berdasarkan Pasal 109 ayat (1) KUHAP, jaksa menerima pemberitahuan dari
penyidik atau penyidik PNS dan penyidik pembantu dalam hal telah dimulai
penyidikan atas suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana yang biasa disebut
dengan SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan).
b.
Berdasarkan pasal 110 ayat (1) KUHAP, penyidik dalam hal telah selesai
melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara pada
penuntut umum. Selanjutnya apabila dihubungkan dengan ketentuan Pasal 138 ayat
(1) KUHAP penuntut umum segera mempelajari dan meneliti berkas perkara tersebut
yakni :
1. Mempelajari adalah
apakah tindak pidana yang disangkakan kepada tersangka telah memenuhi
unsur-unsur dan telah memenuhi syarat pembuktian. Jadi yang diperiksa adalah
materi perkaranya.
2. Meneliti
adalah apakah semua persyaratan formal telah dipenuhi oleh penyidik dalam
membuat berkas perkara, yang antara lain perihal identitas
tersangka, locus dan tempustindak pidana serta kelengkapan
administrasi semua tindakan yang dilakukan oleh penyidik pada saat penyidikan.
c. Mengadakan
Prapenuntutan sesuai pasal 14 huruf b KUHAP dengan memperhatikan ketentuan Pasal
110 ayat (3) dan (4) serta ketentuan Pasal 138 ayat (1) dan (2) KUHAP. Apabila
penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan kurang lengkap (P-18),
penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik disertai
petunjuk untuk dilengkapi (P-19). Dalam hal ini penyidik wajib segera melakukan
penyidikan tambahan sebagaimana petunjuk penuntut umum tersebut sesuai Pasal
110 ayat (2) dan (3) KUHAP.
d. Bila berkas
perkara telah dilengkapi sebagaimana petunjuk, maka menurut ketentuan Pasal 139
KUHAP, penuntut umum segera menentukan sikap apakah suatu berkas perkara
tersebut telah memenuhi persyaratan atau tidak untuk dilimpahkan ke pengadilan
(P-21).
e. Mengadakan
tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab selaku penuntut umum sesuai
Pasal 14 huruf I KUHAP. Menurut Penjelasan pasal tersebut yang dimaksud dengan
“tindakan lain” adalah antara lain meneliti identitas tersangka, barang bukti
dengan melihat secara tegas batas wewenang dan fungsi antara penyidik, penuntut
umum dan pengadilan.
f. Berdasarkan
Pasal 140 ayat (1) KUHAP, penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil
penyelidikan dapat dilakukan penuntutan, maka penuntutan umum secepatnya
membuat surat dakwaan untuk segera melimpahkan perkara tersebut ke pengadilan
untuk diadili.
g. Berdasarkan Pasal 8
ayat (3) huruf b KUHAP, penuntut umum menerima penyerahan tanggung jawab atas
berkas perkara, tersangka serta barang bukti. Bahwa proses serah terima
tanggung jawab tersangka disini sering disebut Tahap 2, dimana di dalamnya
penuntut umum melakukan pemeriksaan terhadap tersangka baik identitas maupun
tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka, dapat melakukan
penahanan/penahanan lanjutan terhadap tesangka sebagaimana Pasal 20 ayat (2)
KUHAP dan dapat pula melakukan penangguhan penahanan serta dapat mencabutnya
kembali.
Sedangkan tugas dan wewenang Jaksa Penuntut Umum dalam
poses penuntutan antara lain adalah sebagai berikut :
a. Berdasarkan Pasal
143 ayat (1) KUHAP penuntut umum melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri
dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat
dakwaan.
b. Melakukan
pembuktian atas surat dakwaan yang dibuat, yakni dengan alat bukti yang
sah sebagaimana Pasal 184 ayat (1) KUHAP, dalam hal itu penuntut umum
berkewajiban menghadirkan terdakwa berikut saksi-saksi, ahli serta barang
bukti di depan persidangan untuk dilakukan pemeriksaan.
c. Berdasarkan
Pasal 182 ayat (1) huruf a, setelah pemeriksaan dinyatakan selesai penuntut
umum Mengajukan tuntutan pidana, meskipun sebenarnya yang lebih tepat yang
diajukan adalah tuntutan (requisitoir),karena tidak menutup peluang selain dari
tuntutan pidana atas diri terdakwa, penuntut umum dapat menuntut bebas diri
terdakwa.
d. Bahwa bila
atas tuntutan terhadap terdakwa dan berdasarkan alat bukti yang sah majelis
hakim berkeyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan
terdakwalah yang bersalah melakukannya, maka majelis hakim menjatuhkan
putusan, dimana bila terdakwa dan penuntut umum kemudian menerima,
putusan tersebut kemudian berkekuatan hukum tetap (inkracht), maka berdasarkan
Pasal 270 KUHAP, jaksa melaksanakan putusan (eksekusi) tersebut.
e. Terkait poin d
tersebut di atas, apabila terdakwa maupun penuntut umum tidak menerima putusan
tersebut maka terdakwa maupun penuntut umum dapat melakukan upaya hukum. Upaya
hukum banding berdasarkan Pasal 233 KUHAP, dan/atau upaya hukum kasasi
berdasarkan Pasal 244 KUHAP.
f. Bahwa
selain hal tersebut, berdasarkan Pasal 140 ayat (2) KUHAP, penuntut umum dapat
memutuskan untuk menghentikan penuntutan dengan mengelarkan SKPP (Surat
Ketetapan Peghentian Penuntutan) dikarenakan alasan bahwa perkara tersebut
tidak terdapat cukup bukti, peristiwanya bukan merupakan tindak pidana atau
perkara ditutup demi hukum, SKPP tersebut diberitahukan kepada tersangka dan
apabila ditahan tersangka harus segera dikeluarkan. Turunan surat tersebut
wajib disampaikan kepada tersangka atau keluarganya, penasehat hukum, pejabat
RUTAN, penyidik dan hakim. Bila kemudian ditemukan alasan baru, penuntut umum
dapat menuntut tersangka, alasan baru tersebut adalah novum (bukti
baru).
Bahwa selain tindakan-tindakan tersebut, Jaksa Agung
secara khusus mempunyai tugas dan wewenang menetapkan serta mengendalikan
kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang
kejaksaan; mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh
undang-undang; mengesampingkan perkara demi kepentingan umum; mengajukan kasasi
demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana,
perdata, dan tata usaha negara.(Vide Pasal 5 UU Kejaksaan)
C. Penegakkan
Hukum
Sebagai salah satu sub sistem dari suatu sistem hukum,
Kejaksaan memiliki kedudukan yang sentral dalam penegakan hukum di Indonesia.
Untuk itu, Kejaksaan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dalam kedudukannya
sebagai badan yang terkait dengan kekuasaan kehakiman dalam penegakan hukum,
harus menjunjung tinggi penegakkan hukum sebagia prasyarat mutlak bagi
penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kejaksaan
sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam
menegakan hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia,
serta pemberantasan KKN. Oleh karena itu, Kejaksaan harus mampu terlibat
sepenuhnya dalam proses pembangunan antara lain turut menciptakan kondisi yang
mendukung dalam mengamankan pelaksanaan pembangunan untuk mewujudkan masyarakat
adil dan makmur berdasarkan Pancasila, serta kewajiban untuk turut menjaga dan
menegakan kewajiban pemerintah dan Negara serta melindungi kepentingan
masyarakat. Di sinilah letak peran stratejik Kejaksaan dalam pemantapan
ketahanan bangsa.
Bahwa untuk mencapai maksud tersebut, aparat Kejaksaan
perlu meningkatkan kinerja dengan optimal di segala bidang dengan berorientasi
pada Visi dan Misi Kejaksaan yang berpangkal pada upaya perlindungan dan
penegakan kepentingan umum dan kepentingan hukum pada umumnya dengan senantiasa
berpegang pada asas persamaan di depan hukum.
Dan tantangan yang dihadapkan pada Kejaksaan dalam rangka
penegakkan hukum tersebut adalah memampukan diri mengantisipasi situasi dan
tuntutan yang sedang dan yang akan berkembang dengan sangat pesat. Yaitu dengan
jalan mempersiapkan sumber daya manusia yang aspiratif, responsif, dan pro
aktif, serta aparatur yang integritas moralnya cukup kokoh dan kematangan
intelektualnya cukup mantap serta berkemampuan profesional yang tinggi.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Penegakan hukum merupakan tujuan utama pelaksanaan
kehidupan masyarakat di Negara Hukum. Keberhasilan penegakan hukum di Negara
Hukum sangat ditentukan oleh peran Aparatur penegak hukum yang terlibat dalam
proses tegaknya hukum itu. Sebagai suatu profesi di bidang hukum secara
fungsional baik Hakim, Jaksa dan Advokat dituntut untuk memiliki suatu keahlian
khusus sekaligus memahami secara mendalam mengenai ruang lingkup tugas dan
utama mereka sebagai ”pelayanan hukum dan masyarakat”.
Seharusnya para aparat penegak hukum merenungkan kembali
apa itu etika profesi hukum yang akhirnya terejawantah dalam kode etik profesi
hukum. Istilah etika berhubungan dengan tingkah laku manusia dalam pengambilan
keputusan moral untuk memberikan pelayanan profesional di bidang hukum terhadap
masyarakat dengan keterlibatan penuh dan keahlian sebagai pelayanan dalam
rangka melaksanakan tugas dalam mengupayakan Law Enforcement.
DAFTAR
PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly,
“Pembangunan Hukum Dan Penegakan Hukum Di Indonesia”, Disampaikan pada acara
Seminar “Menyoal Moral Penegak Hukum” dalam rangka Lustrum XI Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada, 2006.
Kamil, Iskandar. “Kode
Etik Profesi Hakim” dalam Pedoman Perilaku Hakim (Code of Conduct), Kode Etik
Hakim dan Makalah Berkaitan. Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2006.
Kansil, C.S.T. dan
Christine S.T. Kansil. Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum. Jakarta: Pradnya
Pramita, 1996.
Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Mahendra, Yusril Ihza.
Mewujudkan Supremasi Hukum di Indonesia. Jakarta: Tim Pakar Hukum Departemen
Kehakiman dan Hak Asasai Manusia RI bersama Sekretariat Jenderal Departemen
Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, 2002.
Mahkamah Agung
RI. Pedoman Perilaku Hakim. Jakarta, 2005.
Rahardjo,
Satjipto, 1983, Masalah Penegakan Hukum, Bandung, Sinar Baru.
Soekanto, Soerjono, Pengantar
Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986.
Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian PerselisihanHubungan Industrial. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan
atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
UU No. 18 tahun 2003
tentang Kode Etik Advokat Vide Pasal 1 ayat (3) UUD 1945
Vide Pasal 2 ayat (1)
UU Kejaksaan.
Vide Pasal 3 UU
Kejaksaan.
Vide Pasal 2 ayat (3)
UU Kejaksaan.
Vide Pasal 2 ayat (2)
UU Kejaksaan.
Vide Pasal 30 ayat (1)
UU Kejaksaan
Vide Pasal 35 UU
Kejaksaan.
CONTOH KASUS
Contoh Kasus Hakim :
e-journal.uajy.ac.id/5936/1/jurnal.pdf
Contoh Kasus Jaksa :
http://fh.unram.ac.id/wp-content/uploads/2015/12/DINO-RISKA-AFDHALI-D1A211093-PERAN-JAKSA-DALAM-PENYELESAIAN-TINDAK-PIDANA-KORUPSI-Studi-di-Kejaksaan-Negri-Mataram.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar