Jumat, 08 April 2016

PERANAN HAKIM DAN JAKSA DALAM PENEGAKAN HUKUM

BAB I
PENDAHULUAN


        Penegakan  hukum  merupakan  pusat  dari  seluruh  “aktivitas kehidupan ”hukum yang dimulai  dari  perencanaan  hukum, pembentukan  hukum,  penegakan  hukum  dan  evaluasi  hukum. Penegakan  hukum  pada  hakikatnya  merupakan  interaksi  antara berbagai perilaku  manusia  yang  mewakili  kepentingan  – kepentingan  yang  berbeda  dalam  bingkai  aturan  yang  telah disepakati bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapat semata-mata  dianggap  sebagai  proses  menerapkan  hukum sebagaimana pendapat kaum  legalistik. Namun proses penegakan hukum  mempunyai  dimensi  yang  lebih  luas  daripada  pendapat tersebut, karena dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensi perilaku  manusia.  Dengan  pemahaman  tersebut  maka  kita  dapat mengetahui  bahwa  problem-problem  hukum  yang  akan  selalu menonjol  adalah  problema  “law  in  action”  bukan  pada  “law  in  the books”. (Rahardjo,  Satjipto,  1983)
            Penegakan hukum pada prinsipnya harus dapat memberi manfaat atau berdaya guna (utility) bagi masyarakat, namun di samping itu masyarakat juga mengharapkan adanya penegakan hukum untuk mencapai suatu keadilan. Kendatipun demikian tidak dapat kita pungkiri, bahwa apa yang dianggap berguna (secara sosiologis) belum tentu adil, begitu juga sebaliknya apa yang dirasakan adil (secara filosopis), belum tentu berguna bagi masyarakat.
            Radbruch mengatakan bahwa hukum itu harus memenuhi berbagai karya disebut sebagai nilai dasar dari hukum. Nilai dasar hukum tersebut adalah: keadilan, kegunaan dan kepastian hukum. Meskipun ketiga-tiganya itu merupakan nilai dasar dari hukum, namun di antara terdapat suatu Spannungsverhaltnis (ketegangan), oleh karena di antara ketiga nilai dasar hukum tersebut masing-masing mempunyai tuntutan yang berbeda satu sama lainnya, sehingga ketiganya mempunyai potensi untuk saling bertentangan, untuk itulah proses penegakan hukum oleh aparat penegak hukum diharapkan mampu menjembatani nilai-nilai dasar tersebut. Aparat penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum. Dalam arti sempit, aparatur penegak hukum yang terlibat dalam proses tegaknya hukum itu, dimulai dari Saksi, Polisi, Penasehat hukum/ Advokat, Jaksa, Hakim, dan Petugas sipir pemasyarakatan. Namun yang menjadi pembahasan dalam penulisan ini adalah Peran Hakim, Jaksa dan Advokat dalam Penegakkan Hukum.



BAB II
PEMBAHASAN


I.          PENEGAKAN HUKUM

            Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.
            Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan perkataan‘law enforcement’ ke dalam bahasa Indonesia dalam menggunakan perkataan ‘penegakanhukum’ dalam arti luas dan dapat pula digunakan istilah ‘penegakan peraturan’ dalam arti sempit. Pembedaan antara formalitas aturan hukum yang tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa Inggeris sendiri dengan dikembangkannya istilah ‘the rule of law’ versus ‘the rule of just law’ atau dalam istilah ‘the rule of law and not of man’ versus istilah ‘the rule by law’ yang berarti ‘the rule of man by law’. Dalam istilah ‘the rule of law’ terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Karena itu, digunakan istilah ‘the rule of just law’. Dalam istilah‘the rule of law and not of man’ dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah ‘the rule by law’ yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan belaka. (Asshiddiqie,Jimly, 2006)
            Dengan uraian di atas jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud dengan penegakan hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam arti formil yang sempit maupun dalam arti materiel yang luas, sebagai pedoman  perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subjek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.


II.     APARATUR PENEGAK HUKUM

            Aparatur penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum. Dalam arti sempit, aparatur penegak hukum yang terlibat dalam proses tegaknya hukum itu, dimulai dari Saksi, Polisi, Penasehat hukum/ Advokat, Jaksa, Hakim, dan Petugas sipir pemasyarakatan. Setiap aparat dan aparatur terkait mencakup pula pihak-pihak yang bersangkutan dengan tugas atau perannya yaitu terkait dengan kegiatan pelaporan atau pengaduan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya pemasyarakatan kembali (resosialisasi) terpidana.
            Aktor-aktor utama yang peranannya sangat menonjol dalam proses penegakan hukum itu adalah hakim, jaksa, pengacara dan polisi. Para penegak hukum ini dapat dilihat pertama-tama sebagai orang atau unsur manusia dengan kualitas, kualifikasi, dan kultur kerjanya masing-masing. Dalam pengertian demikian persoalan penegakan hukum tergantung aktor, pelaku, pejabat atau aparat penegak hukum itu sendiri. Kedua, penegak hukum dapat pula dilihat sebagai institusi, badan atau organisasi dengan kualitas birokrasinya sendiri-sendiri.
            Dalam proses bekerjanya aparatur penegak hukum itu, terdapat tiga elemen penting yang mempengaruhi, yaitu: (i) institusi penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya; (ii) budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya, dan (iii) perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaannya maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum materielnya maupun hukum acaranya. Upaya penegakan hukum secara sistemik haruslah memperhatikan ketiga aspek itu secara simultan, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan itu sendiri secara internal dapat diwujudkan secara nyata. (Asshiddiqie,Jimly, 2006)


III . PERAN HAKIM DALAM PENEGAKKAN HUKUM

A.    Profesi Hakim dan Karakteristiknya

            Sebagai sebuah profesi yang berkaitan dengan proses di pengadilan, definisi hakim tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau yang biasa disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 1 angka 8 KUHAP menyebutkan, hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Sedangkan mengadili diartikan sebagai serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang.(Kamil, Iskandar, 2006)
            Hakim memiliki kedudukan dan peranan yang penting demi tegaknya negara hukum. Oleh karena itu, terdapat beberapa nilai yang dianut dan wajib dihormati oleh penyandang profesi hakim dalam menjalankan tugasnya. Nilai di sini diartikan sebagai sifat atau kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun batin. Bagi manusia, nilai dijadikan landasan, alasan, atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku, baik disadari maupun tidak. Nilai-nilai itu adalah sebagai berikut :

1.    Profesi hakim adalah profesi yang merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Di sini terkandung nilai kemerdekaan dan keadilan.

2.    Selanjutnya, nilai keadilan juga tercermin dari kewajiban hakim untuk menyelenggarakan peradilan secara sederhana, cepat, dan biaya ringan, agar keadilan tersebut dapat dijangkau semua orang. Dalam mengadili, hakim juga tidak boleh membeda-bedakan orang dan wajib menghormati asas praduga tak bersalah. Kewajiban menegakkan keadilan ini tidak hanya dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada sesama manusia, tetapi juga secara vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa.

3.     Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas. Apabila hakim melihat adanya kekosongan hukum karena tidak ada atau kurang jelasnya hukum yang mengatur suatu hal, maka ia wajib menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Nilai ini dinamakan sebagai nilai keterbukaan.
4.   Hakim wajib menjunjung tinggi kerja sama dan kewibawaan korps. Nilai kerja sama ini tampak dari persidangan yang berbentuk majelis, dengan sekurang-kurangnya terdiri dari tiga orang hakim. Sebelum menjatuhkan putusannya, para hakim ini melakukan musyawarah secara tertutup.

5.     Hakim harus senantiasa mempertanggungjawabkan segala sikap dan tindakannya. Secara vertikal berarti ia bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan pertanggungjawaban secara horizontal berarti ditujukan terhadap sesama manusia, baik kepada lembaga peradilan yang lebih tinggi maupun kepada masyarakat luas. Berkaitan dengan pertanggungjawaban horizontal, Pasal 25 ayat (1) Undang- Undang tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa:

“Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.”

6.     Hakim wajib menjunjung tinggi nilai obyektivitas. Hal ini tercermin dalam Pasal 29 ayat (3) yang menyatakan bahwa hakim wajib mengundurkan diri dalam pemeriksaan suatu perkara apabila ia mempunyai hubungan darah dengan pihak-pihak yang terlibat dalam proses pemeriksaan perkara tersebut, baik dengan terdakwa, jaksa, penasihat hukum, panitera, maupun sesama majelis hakim.

            Profesi hakim sebagai salah satu bentuk profesi hukum sering digambarkan sebagai pemberi keadilan. Oleh karena itu, hakim juga digolongkan sebagai profesi luhur (officium nobile), yaitu profesi yang pada hakikatnya merupakan pelayanan pada manusia dan masyarakat. Setiap profesi memiliki etika yang pada prinsipnya terdiri dari kaidah-kaidah pokok sebagai berikut. (Kamil, Iskandar, 2006)

1.    Profesi harus dipandang sebagai pelayanan, oleh karenanya, sifat “tanpa pamrih” menjadi ciri khas dalam mengembangkan profesi.
2.    Pelayanan profesional dalam mendahulukan kepentingan pencari keadilan mengacu pada nilai-nilai luhur.
3.    Pengembanan profesi harus selalu berorientasi pada masyarakat sebagai keseluruhan.
4.     Persaingan dalam pelayanan berlangsung secara sehat sehingga dapat menjamin mutu dan peningkatan mutu pengemban profesi.

            Sebagai suatu profesi di bidang hukum yang secara fungsional merupakan pelaku utama dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, hakim dituntut untuk memiliki suatu keahlian khusus sekaligus memahami secara mendalam mengenai ruang lingkup tugas dan kewajibannya. Salah satu unsur yang membedakan profesi hakim dengan profesi lainnya adalah adanya proses rekrutmen serta pendidikan bersifat khusus yang diterapkan bagi setiap orang yang akan mengemban profesi ini.


B.       Tanggung Jawab Hakim

► Tanggung Jawab Profesi Hakim

            Pada dasarnya, terdapat setidaknya tiga unsur pokok yang harus ada dalam pelaksanaan suatu fungsi dalam profesi dan bidang apapun. Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut. Tugas, yaitu kewajiban dan kewenangan atau kekuasaan yang harus dilaksanakan untuk kemudian diperinci lebih lanjut tentang cara melaksanakannya. Aparat, yaitu pelaksana tugas tersebut yang terdiri atas komponen pelaksana, pendukung, dan penunjang.
Lembaga, yaitu wadah (struktur dan organisasi) beserta sarana dan prasarana tempat para aparat melaksanakan tugasnya. Bagi seorang aparat, mendapat suatu tugas berarti memperoleh sebuah tanggung jawab yang terkait tiga hal, yaitu:
1. mendapat kepercayaan untuk dapat mengemban tugas;
2. merupakan suatu kehormatan sebagai pengemban tugas; dan merupakan suatu amanat yang harus dijaga dan dijalankan.
            Tanggung jawab dapat dibedakan atas tiga jenis, yaitu tanggung jawab
moral, tanggung jawab hukum, dan tanggung jawab teknis profesi. Tanggung jawab moral adalah tanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan kehidupan profesi yang bersangkutan, baik bersifat pribadi maupun bersifat kelembagaan bagi suatu lembaga yang merupakan wadah para aparat bersangkutan. Sementara tanggung jawab hukum diartikan sebagai tanggung jawab yang menjadi beban aparat untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan tidak melanggar rambu-rambu hukum. Sedangkan tanggung jawab teknis profesi merupakan tuntutan bagi aparat untuk melaksanakan tugasnya secara profesional sesuai dengan kriteria teknis yang berlaku dalam bidang profesi yang bersangkutan, baik bersifat umum maupun ketentuan khusus dalam lembaganya. (Mahkamah Agung RI, 2005)

► Tanggung Jawab Moral Hakim

            Secara filosofis, tujuan akhir profesi hakim adalah ditegakkannya keadilan. Cita hukum keadilan yang terapat dalam das sollen (kenyataan normatif) harus dapat diwujudkan dalam das sein (kenyataan alamiah) melalui nilai-nilai yang terdapat dalam etika profesi. Salah satu etika profesi yang telah lama menjadi pedoman profesi ini sejak masa awal perkembangan hukum dalam peradaban manusia adalah The Four Commandments for Judges dari Socrates. Kode etik hakim tersebut terdiri dari empat butir di bawah ini.

1. To hear corteously (mendengar dengan sopan dan beradab).
2. To answer wisely (menjawab dengan arif dan bijaksana).
3. To consider soberly (mempertimbangkan tanpa terpengaruh apapun).
4. To decide impartially (memutus tidak berat sebelah).

            Hakim dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya didasari oleh Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang tertuang dalam Keputusan Bersama antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial No 047/KMA/SKB/IV/2009. Di dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim terdapat 10 prinsip dasar: (1) berperilaku adil, (2) berperilaku jujur, (3) berprilaku arif dan bijaksana, (4) bersikap mandiri, (5) berintegritas tinggi, (6) bertanggung jawab, (7) menjunjung tinggi harga diri, (8) berdisiplin tinggi, (9) berperilaku rendah hati, (10) bersikap profesional

            Dalam bertingkah laku, sikap dan sifat hakim tercermin dalam lambang kehakiman dikenal sebagai Panca Dharma Hakim, yaitu:

–  Kartika, melambangkan Ketuhanan Yang Maha Esa;
–  Cakra, berarti seorang hakim dituntut untuk bersikap adil;
–  Candra, berarti hakim harus bersikap bijaksana atau berwibawa;
–  Sari, berarti hakim haruslah berbudi luhur atau tidak tercela; dan
–  Tirta, berarti seorang hakim harus jujur.

            Sebagai perwujudan dari sikap dan sifat di atas, maka sebagai pejabat hukum, hakim harus memiliki etika kepribadian, yakni:

a. percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. menjunjung tinggi citra, wibawa, dan martabat hakim;
c. berkelakuan baik dan tidak tercela;
d. menjadi teladan bagi masyarakat;
e. menjauhkan diri dari perbuatan asusila dan kelakuan yang dicela oleh masyarakat;
f. tidak melakukan perbuatan yang merendahkan martabat hakim;
g. bersikap jujur, adil, penuh rasa tanggung jawab;
h. berkepribadian, sabar, bijaksana, berilmu;
i. bersemangat ingin maju (meningkatkan nilai peradilan);
j. dapat dipercaya; dan
k. berpandangan luas.


► Tanggung Jawab Hukum Hakim

            Beberapa peraturan perundang-undangan yang memiliki kaitan dengan hakim dan peradilan mencantumkan dan mengatur pula hal-hal seputar tanggung jawab hukum profesi hakim. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mencantumkan beberapa tanggung jawab profesi yang harus ditaati oleh hakim, yaitu:

1)      bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 28 ayat (1));
2)      bahwa dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa (Pasal 28 ayat (2); dan
3)      bahwa hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami isteri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang Hakim Anggota, Jaksa, Advokat, atau Panitera (Pasal 29 ayat (3).
            
Selain peraturan perundang-undangan yang menguraikan tanggung jawab profesi hakim sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman secara umum, terdapat pula ketentuan yang mengatur secara khusus mengenai tanggung jawab profesi Hakim Agung, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Undang-undang ini mengatur ketentuan-ketentuan yang harus ditaati dan menjadi tanggung jawab Hakim Agung, di antaranya sebagai berikut.

a. Pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa Hakim Agung tidak boleh merangkap menjadi:
–   pelaksana putusan Mahkamah Agung;
–   wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara yang akan atau sedang diperiksa olehnya
–   penasehat hukum; dan
–    pengusaha

b. Pasal 12 ayat (1) menyatakan bahwa Hakim Anggota Mahkamah Agung dapat diberhentikan tidak dengan hormat dengan alasan:
–   dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih
–   melakukan perbuatan tercela;
–   terus menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya;
–   melanggar sumpah atau janji jabatan; dan
–   melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.

c. Pasal 41 ayat (1) menyatakan bahwa hakim wajib mengundurkan diri dari suatu   persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau isteri meskipun telah bercerai dengan salah seorang Hakim Anggota atau Panitera pada majelis hakim.

d. Pasal 41 ayat (4) menyatakan jika seorang hakim yang memutus perkara dalam tingkat pertama atau tingkat banding, kemudian telah menjadi Hakim Agung, maka Hakim Agung tersebut dilarang memeriksa perkara yang sama.

e. Pasal 42 ayat (1) menyatakan bahwa seorang hakim tidak diperkenankan mengadili suatu perkara yang ia sendiri berkepentingan, baik langsung maupun tidak langsung. Di samping kedua undang-undang di atas, peraturan berbentuk undang- undang lainnya yang mencantumkan ketentuan mengenai tanggung jawab profesi hakim adalah:

f. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor     7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

g. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial;

h. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum;

i. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;

j. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;

k. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak; dan

l. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.


► Tanggung Jawab Teknis Profesi Hakim

            Jenis tanggung jawab yang terakhir adalah tanggung jawab teknis profesi. Pada jenis tanggung jawab ini, penilaian terhadap sesuai atau tidaknya tindakan yang dilakukan oleh hakim dengan ketentuan yang berlaku menjadi hal yang paling diutamakan. Selain itu, penilaian terhadap kinerja dan profesionalisme hakim dalam menjalankan tugasnya juga menjadi perhatian.
            Setiap hakim dituntut mampu mempertanggungjawabkan tindakannya sebagai profesional di bidang hukum, baik di dalam maupun di luar kedinasan, secara materi dan formil. Oleh karena itu, adalah suatu hal yang mutlak bagi para hakim untuk memahami secara mendalam aturan-aturan mengenai hukum acara di persidangan. Ketidak mampuan hakim dalam mempertanggungjawabkan tindakannya secara teknis atau dikenal dengan istilah unprofessional conduct dianggap sebagai pelanggaran yang harus dijatuhi sanksi.


C.    Penegakkan Hukum

            Berkaitan dengan tanggung jawab Hakim seperti dipaparkan di atas, Hakim memiliki peran penting dalam penegakan hukum  di Indonesia. Oleh karenanya sebagai penegak hukum, Hakim merupakan pejabat kunci keberhasilan penegakan hukum, maksudnya penentu bagi penjatuhan sanksi terhadap pelanggar hukum dengan tidak membedakan status pelaku. Inilah sebagai kunci hukum benar-benar ditegakkan dengan tidak pandang bulu. Oleh karenanya dalam menjatuhkan putusan atas suatu perkara, Hakim harus benar-benar menemukan suatu kebenaran akan peristiwanya sehingga dapat menentukan sanksi yang dijatuhkan bersamaan putusan yang dijatuhkan pula. Dengan dijatuhkannya putusan berarti suatu bentuk keadilan harus terwujud diantara berbagai pihak terutama yang terlibat suatu perkara yang bersangkutan, dikarenakan setiap putusan Hakim pasti berkepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
            Namun tak bisa dipungkiri masih terdapat beberapa kelemahan dalam pelaksanaan fungsinya. Selain mengalami masalah pada profesionalisme dan integritas para Hakim serta aparat penegak hukum yang lain, masalah juga terjadi pada sistem penegakan hukum di Indonesia dikenal sangat tidak efektif. Jalur yang rumit, disertai syarat-syarat birokratis yang panjang, menciptakan situasi yang tidak kondusif bagi program penegakan hukum yang efisien dan efektif. (Mahendra, Yusril Ihza, 2002)
            Putusan Hakim mempertaruhkan citra Hakim di mata masyarakat. Putusan yang tidak menimbulkan rasa keadilan akan memunculkan cemoohan bagi Hakim, meskipun dengan dalih berdasarkan bukti-bukti yang diajukan beserta keyakinannya Hakim sudah maksimal memeriksa perkara yang bersangkutan. Sering Hakim lupa dalam memeriksa suatu perkara, dianggapnya perkara tersebut adalah perkara-perkara yang sama saja satu dengan yang lain. Dalam hal ini Hakim sering memeriksa suatu perkara secara individual dengan mengacu pada perkara-perkara yang sejenis yang telah diputuskan oleh Hakim yang lalu karena putusannya itu dianggapnya sebagai yuriprudensi. Namun Hakim yang demikian sebenarnya telah melupakan bahwa situasi sosial telah berubah. Kondisi sosial masyarakat mengalami perubahan seiring dengan berkembangnya kebutuhan masyarakat akan pemenuhan hidup sehari-hari. Perubahan sosial berpengaruh pula pada pola hidup dan sikap tindak setiap anggota masyarakat, dan yang paling utama kadang hukum tertinggal dari perubahan masyarakat. Oleh karenanya tidaklah mudah untuk menentukan bahwa suatu perkara yang sejenis yang telah diputus dianggap sama dengan perkara yang sedang diperiksa.
            Hakim sering mengabaikan keadilan yang diharapkan ada saat menghadapi perkara. Bahkan kadang dengan dalih “benar atau salah” Hakim melupakan rasa keadilan yang diinginkan oleh pihak-pihak yang terlibat perkara yang bersangkutan. Apalagi Hakim dihadapkan pada aneka macam hukum (hukum adat) yang tersebar di banyak suku di negeri ini. Jiwa berani memutus perkara dengan adil masih kurang mewarnai hati nurani Hakim. Hal ini seringnya terjadi suatu putusan Hakim diprotes oleh sebagian rakyat yang merasa Hakim kurang adil dalam memeriksa dan menjatuhkan putusan.
            Dalam kaitannya dengan penegakan hukum, keberhasilan penegakan hukum sangat terkait dengan penerapan serasi antara nilai-nilai yang berkembang dan diyakini kebenarannya oleh masyarakat dengan kaidah serta dengan perilaku nyata manusia. (Soerjono Soekanto, 1986: 13). Oleh karenanya agar hukum berfungsi dengan baik, maka diperlukan keserasian dalam hubungan kelima faktor di atas (faktor hukumnya, faktor mentalitas penegak hukum, faktor fasilitas, faktor kesadaran hukum masyarakat dan faktor budaya), dan kelima faktor tersebut saling berkaitan serta merupakan inti dari sistem penegakan hukum. Dengan demikian perilaku Hakim dalam menjatuhkan putusan juga haruslah memperhatikan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat. Dengan beragamnya adat istiadat suku bangsa yang ada di Indonesia, Hakim harus cermat dalam memahami setiap kasus yang diperiksanya. Untuk itu putusan yang dijatuhkan merupakan putusan “kasuistis” yang tidak dapat disamakan dengan kasus-kasus yang mirip dan sudah pernah terjadi. Apalagi menyangkut kasus pidana, kecermatan dan wawasan yang luas akan nilai-nilai adat yang berkembang dalam masyarakat menjadi keharusan bagi seorang Hakim agar citranya tidak tercoreng di mata masyarakat, lebih-lebih soal kehati-hatian dan non diskriminan serta tidak melakukan “jual-beli” perkara menjadi harga mati yang harus dilakukan oleh seorang Hakim.


IV. PERAN JAKSA/ PENUNTUT UMUM DALAM PENEGAKAN HUKUM

A. Kejaksaan dan Profesi Jaksa Penuntut Umum

          Founding fathers republik ini telah mencita-citakan Indonesia sebagai negara yang berdasarkan hukum (Rechtstaat) bukan kekuasaan (Machtstaat), konstitusi kita, Undang-Undang Dasar 1945 pun telah menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Sebagai suatu negara hukum, maka sudah selayaknya juga segala sesuatu yang dijalankan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat juga harus berada dalam koridor hukum, artinya dalam masyarakat mutlak diperlukan hukum untuk mengatur hubungan antara warga masyarakat dan hubungan antara masyarakat dengan negara.
            Dikeluarkannya peraturan-peraturan tersebut menggambarkan adanya norma-norma hukum yang diciptakan untuk mengatur hak dan kewajiban dari negara dan masyarakat. Pelaksanaan dari peraturan-peraturan yang mengandung norma-norma hukum tersebut pada dasarnya merupakan bagian dari penegakan hukum karena penegakan hukum adalah suatu upaya untuk menjaga agar hukum harus ditaati. Hukum dapat berperan baik dan benar ditengah masyarakat jika instrument pelaksanaannya dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan dalam bidang penegakan hukum. Salah satu diantara kewenangan-kewenangan itu adalah Kejaksaan RI.
            Kejaksaan R.I. adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Sebagai badan yang berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan, Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri merupakan kekuasaan negara khususnya di bidang penuntutan, dimana semuanya merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan (en een ondelbaar). (Vide Pasal 2 ayat (1) UU Kejaksaan, Vide Pasal 3 UU Kejaksaan)
           Mengacu pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Dalam melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya secara merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya.  (Vide Pasal 2 ayat (1) UU Kejaksaan)
            Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan berada pada posisi sentral dengan peran strategis dalam pemantapan ketahanan bangsa. Karena Kejaksaan berada di poros dan menjadi filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan serta juga sebagai pelaksana penetapan dan putusan pengadilan. Dengan begitu Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (dominus litis), karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus/perkara dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana.
       Bahwa selain dari melakukan penuntutan, melaksanakan penetapan Hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (executive ambtenaar). Kejaksaan juga memiliki tugas dan wewenang dalam bidang pidana lainnya yakni melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang; melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. (Vide Pasal 30 ayat (1) UU Kejaksaan)
            Dalam bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah, adapun yang dapat dilakukan jaksa dalam bidang ini antara lain melakukan penegakan hukum; bantuan hukum sebagai jaksa pengacara negara; melakukan pelayanan hukum kepada masyarakat; memberikan pertimbangan hukum kepada lembaga pemerintah; dan melakukan tindakan hukum lain. Sedang dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan peningkatan kesadaran hukum masyarakat; pengamanan kebijakan penegakan hukum; pengawasan peredaran barang cetakan; pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara; pencegahan penyalahgunaan dan penodaan agama; penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal. Dalam UU Kejaksaan tepatnya pada Pasal 1 butir 1 ditentukan bahwa:
     ”Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.”
Sedangkan dalam Pasal 1 butir 2 disebutkan :
       “Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.”
            Hal tersebut juga di atur dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang kerap di sebut dengan KUHAP yakni dalam Pasal 1 butir 6 huruf a dan b Jo. Pasal 13 dengan begitu telah jelas bahwa penuntut umum sudah pasti adalah seorang jaksa, sedangkan jaksa belum tentu seorang penuntut umum. Bila melihat uraian di atas, dapat dikatakan bahwa peran jaksa selaku penuntut umum dalam penegakan hukum tentu berada dalam koridor tindakan  penuntutan.


B.  Tugas dan Wewenang Jaksa Penuntut Umum

            Adapun dalam rangka persiapan tindakan penuntutan atau kerap dikenal dengan tahap Pra Penuntutan, dapat diperinci mengenai tugas dan wewenang dari Jaksa Penuntut Umum sebagai berikut antara lain :

a.    Berdasarkan Pasal 109 ayat (1) KUHAP, jaksa menerima pemberitahuan dari penyidik atau penyidik PNS dan penyidik pembantu dalam hal telah dimulai penyidikan atas suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana yang biasa disebut dengan SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan).

b.    Berdasarkan pasal 110 ayat (1) KUHAP, penyidik dalam hal telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara pada penuntut umum. Selanjutnya apabila dihubungkan dengan ketentuan Pasal 138 ayat (1) KUHAP penuntut umum segera mempelajari dan meneliti berkas perkara tersebut yakni :

1. Mempelajari adalah apakah tindak pidana yang disangkakan kepada tersangka telah memenuhi unsur-unsur dan telah memenuhi syarat pembuktian. Jadi yang diperiksa adalah materi perkaranya.
2.  Meneliti adalah apakah semua persyaratan formal telah dipenuhi oleh penyidik dalam membuat berkas perkara, yang antara lain perihal identitas tersangka, locus dan tempustindak pidana serta kelengkapan administrasi semua tindakan yang dilakukan oleh penyidik pada saat penyidikan.

c. Mengadakan Prapenuntutan sesuai pasal 14 huruf b KUHAP dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan (4) serta ketentuan Pasal 138 ayat (1) dan (2) KUHAP. Apabila penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan kurang lengkap (P-18), penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi (P-19). Dalam hal ini penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sebagaimana petunjuk penuntut umum tersebut sesuai Pasal 110 ayat (2) dan (3) KUHAP.

d.  Bila berkas perkara telah dilengkapi sebagaimana petunjuk, maka menurut ketentuan Pasal 139 KUHAP, penuntut umum segera menentukan sikap apakah suatu berkas perkara tersebut telah memenuhi persyaratan atau tidak untuk dilimpahkan ke pengadilan (P-21).

e.  Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab selaku penuntut umum sesuai Pasal 14 huruf I KUHAP. Menurut Penjelasan pasal tersebut yang dimaksud dengan “tindakan lain” adalah antara lain meneliti identitas tersangka, barang bukti dengan melihat secara tegas batas wewenang dan fungsi antara penyidik, penuntut umum dan pengadilan.

f.  Berdasarkan Pasal 140 ayat (1) KUHAP, penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyelidikan dapat dilakukan penuntutan, maka penuntutan umum secepatnya membuat surat dakwaan untuk segera melimpahkan perkara tersebut ke pengadilan untuk diadili.

g. Berdasarkan Pasal 8 ayat (3) huruf b KUHAP, penuntut umum menerima penyerahan tanggung jawab atas berkas perkara, tersangka serta barang bukti. Bahwa proses serah terima tanggung jawab tersangka disini sering disebut Tahap 2, dimana di dalamnya penuntut umum melakukan pemeriksaan terhadap tersangka baik identitas maupun tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka, dapat melakukan penahanan/penahanan lanjutan terhadap tesangka sebagaimana Pasal 20 ayat (2) KUHAP dan dapat pula melakukan penangguhan penahanan serta dapat mencabutnya kembali.
            
Sedangkan tugas dan wewenang Jaksa Penuntut Umum dalam poses penuntutan antara lain adalah sebagai berikut :

a. Berdasarkan Pasal 143 ayat (1) KUHAP penuntut umum melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan.

b.  Melakukan pembuktian  atas surat dakwaan yang dibuat, yakni dengan alat bukti yang sah sebagaimana Pasal 184 ayat (1) KUHAP, dalam hal itu penuntut umum berkewajiban  menghadirkan terdakwa berikut saksi-saksi, ahli serta barang bukti di depan persidangan untuk dilakukan pemeriksaan.

c.  Berdasarkan Pasal 182 ayat (1) huruf a, setelah pemeriksaan dinyatakan selesai penuntut umum Mengajukan tuntutan pidana, meskipun sebenarnya yang lebih tepat yang diajukan adalah tuntutan (requisitoir),karena tidak menutup peluang selain dari tuntutan pidana atas diri terdakwa, penuntut umum dapat menuntut bebas diri terdakwa.

d.  Bahwa bila atas tuntutan terhadap terdakwa dan berdasarkan alat bukti yang sah majelis hakim berkeyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah  yang bersalah melakukannya, maka majelis hakim menjatuhkan putusan, dimana bila  terdakwa dan penuntut umum kemudian menerima, putusan tersebut kemudian berkekuatan hukum tetap (inkracht), maka berdasarkan Pasal 270 KUHAP, jaksa melaksanakan putusan (eksekusi) tersebut.

e. Terkait poin d tersebut di atas, apabila terdakwa maupun penuntut umum tidak menerima putusan tersebut maka terdakwa maupun penuntut umum dapat melakukan upaya hukum. Upaya hukum banding berdasarkan Pasal 233 KUHAP, dan/atau upaya hukum kasasi berdasarkan Pasal 244 KUHAP.

f.   Bahwa selain hal tersebut, berdasarkan Pasal 140 ayat (2) KUHAP, penuntut umum dapat memutuskan untuk menghentikan penuntutan dengan mengelarkan SKPP (Surat Ketetapan Peghentian Penuntutan) dikarenakan alasan bahwa perkara tersebut tidak terdapat cukup bukti, peristiwanya bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, SKPP tersebut diberitahukan kepada tersangka dan apabila ditahan tersangka harus segera dikeluarkan. Turunan surat tersebut wajib disampaikan kepada tersangka atau keluarganya, penasehat hukum, pejabat RUTAN, penyidik dan hakim. Bila kemudian ditemukan alasan baru, penuntut umum dapat menuntut tersangka, alasan baru tersebut adalah novum (bukti baru).
            Bahwa selain tindakan-tindakan tersebut, Jaksa Agung secara khusus mempunyai tugas dan wewenang menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan; mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh undang-undang; mengesampingkan perkara demi kepentingan umum; mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung  dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara.(Vide Pasal 5 UU Kejaksaan)


C.  Penegakkan Hukum

            Sebagai salah satu sub sistem dari suatu sistem hukum, Kejaksaan memiliki kedudukan yang sentral dalam penegakan hukum di Indonesia. Untuk itu, Kejaksaan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dalam kedudukannya sebagai badan yang terkait dengan kekuasaan kehakiman dalam penegakan hukum, harus menjunjung tinggi penegakkan hukum sebagia prasyarat mutlak bagi penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakan hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan KKN. Oleh karena itu, Kejaksaan harus mampu terlibat sepenuhnya dalam proses pembangunan antara lain turut menciptakan kondisi yang mendukung dalam mengamankan pelaksanaan pembangunan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila, serta kewajiban untuk turut menjaga dan menegakan kewajiban pemerintah dan Negara serta melindungi kepentingan masyarakat. Di sinilah letak peran stratejik Kejaksaan dalam pemantapan ketahanan bangsa.
            Bahwa untuk mencapai maksud tersebut, aparat Kejaksaan perlu meningkatkan kinerja dengan optimal di segala bidang dengan berorientasi pada Visi dan Misi Kejaksaan yang berpangkal pada upaya perlindungan dan penegakan kepentingan umum dan kepentingan hukum pada umumnya dengan senantiasa berpegang pada asas persamaan di depan hukum.
            Dan tantangan yang dihadapkan pada Kejaksaan dalam rangka penegakkan hukum tersebut adalah memampukan diri mengantisipasi situasi dan tuntutan yang sedang dan yang akan berkembang dengan sangat pesat. Yaitu dengan jalan mempersiapkan sumber daya manusia yang aspiratif, responsif, dan pro aktif, serta aparatur yang integritas moralnya cukup kokoh dan kematangan intelektualnya cukup mantap serta berkemampuan profesional yang tinggi.



BAB III
PENUTUP


Kesimpulan

            Penegakan hukum merupakan tujuan utama pelaksanaan kehidupan masyarakat di Negara Hukum. Keberhasilan penegakan hukum di Negara Hukum sangat ditentukan oleh peran Aparatur penegak hukum yang terlibat dalam proses tegaknya hukum itu. Sebagai suatu profesi di bidang hukum secara fungsional baik Hakim, Jaksa dan Advokat dituntut untuk memiliki suatu keahlian khusus sekaligus memahami secara mendalam mengenai ruang lingkup tugas dan utama mereka sebagai ”pelayanan hukum dan masyarakat”.
            Seharusnya para aparat penegak hukum merenungkan kembali apa itu etika profesi hukum yang akhirnya terejawantah dalam kode etik profesi hukum. Istilah etika berhubungan dengan tingkah laku manusia dalam pengambilan keputusan moral untuk memberikan pelayanan profesional di bidang hukum terhadap masyarakat dengan keterlibatan penuh dan keahlian sebagai pelayanan dalam rangka melaksanakan tugas dalam mengupayakan Law Enforcement.





DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly, “Pembangunan Hukum Dan Penegakan Hukum Di Indonesia”, Disampaikan pada acara Seminar “Menyoal Moral Penegak Hukum” dalam rangka Lustrum XI Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2006.

Kamil, Iskandar. “Kode Etik Profesi Hakim” dalam Pedoman Perilaku Hakim (Code of Conduct), Kode Etik Hakim dan Makalah Berkaitan. Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2006.

Kansil, C.S.T. dan Christine S.T. Kansil. Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum. Jakarta: Pradnya Pramita, 1996.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Mahendra, Yusril Ihza. Mewujudkan Supremasi Hukum di Indonesia. Jakarta: Tim Pakar Hukum Departemen Kehakiman dan Hak Asasai Manusia RI bersama Sekretariat Jenderal Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, 2002.

Mahkamah Agung RI. Pedoman Perilaku Hakim. Jakarta, 2005.

Rahardjo,  Satjipto,  1983,  Masalah Penegakan Hukum, Bandung, Sinar Baru.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian PerselisihanHubungan Industrial. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas 

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

UU No. 18 tahun 2003 tentang Kode Etik Advokat Vide Pasal 1 ayat (3) UUD 1945

Vide Pasal 2 ayat (1) UU Kejaksaan.
Vide Pasal 3 UU Kejaksaan.
Vide Pasal 2 ayat (3) UU Kejaksaan.
Vide Pasal 2 ayat (2) UU Kejaksaan.
Vide Pasal 30 ayat (1) UU Kejaksaan
Vide Pasal 35 UU Kejaksaan.
                                                                                



CONTOH KASUS
         

Contoh Kasus Hakim :

e-journal.uajy.ac.id/5936/1/jurnal.pdf


Contoh Kasus Jaksa :

http://fh.unram.ac.id/wp-content/uploads/2015/12/DINO-RISKA-AFDHALI-D1A211093-PERAN-JAKSA-DALAM-PENYELESAIAN-TINDAK-PIDANA-KORUPSI-Studi-di-Kejaksaan-Negri-Mataram.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar